Friday, January 28, 2011

SENYAWA KARBON (pembuatan dan kegunaannya)


Berikut ini adalah  kumpulan artikel mengenai bagaimana senyawa karbon / organik dibuat dan juga kegunaannya. Senyawa-senyawa itu antara lain :
·        Alkohol
·        Eter
·        Aldehid
·        Keton
·        Asam Karboksilat
·        Ester

PROSES PEMBUATAN :

Alkohol :
a.   Metanol
Metanol dibuat dari CH4 (metana) dengan dua tahap. Pada tahap 1 gas metana dipanaskan dengan uap air membentuk gas CO dan H2.

Saat ini, gas sintesis umumnya dihasilkan dari metana yang merupakan komponen dari gas alam. Terdapat tiga proses yang dipraktekkan secara komersial.

Pada tekanan sedang 1 hingga 2 MPa (10–20 atm) dan temperatur tinggi (sekitar 850 °C), metana bereaksi dengan uap air (steam) dengan katalis nikel untuk menghasilkan gas sintesis menurut reaksi kimia berikut:
CH4 + H2OCO + 3 H2
Reaksi ini, umumnya dinamakan steam-methane reforming atau SMR, merupakan reaksi endotermik dan limitasi perpindahan panasnya menjadi batasan dari ukuran reaktor katalitik yang digunakan.
Metana juga dapat mengalami oksidasi parsial dengan molekul oksigen untuk menghasilkan gas sintesis melalui reaksi kimia berikut:
2 CH4 + O2 → 2 CO + 4 H2

reaksi ini adalah eksotermik dan panas yang dihasilkan dapat digunakan secara in-situ untuk menggerakkan reaksi steam-methane reforming. Ketika dua proses tersebut dikombinasikan, proses ini disebut sebagai autothermal reforming. Rasio CO and H2 dapat diatur dengan menggunakan reaksi perpindahan air-gas (the water-gas shift reaction):
CO + H2OCO2 + H2,

untuk menghasilkan stoikiometri yang sesuai dalam sintesis metanol.
Karbon monoksida dan hidrogen kemudian bereaksi dengan katalis kedua untuk menghasilkan metanol. Saat ini, katalis yang umum digunakan adalah campuran tembaga, seng oksida, dan alumina, yang pertama kali digunakan oleh ICI di tahun 1966. Pada 5–10 MPa (50–100 atm) dan 250 °C, ia dapat mengkatalisis produksi metanol dari karbon monoksida dan hidrogen dengan selektifitas yang tinggi:
CO + 2 H2 → CH3OH
Sangat perlu diperhatikan bahwa setiap produksi gas sintesis dari metana menghasilkan 3 mol hidrogen untuk setiap mol karbon monoksida, sedangkan sintesis metanol hanya memerlukan 2 mol hidrogen untuk setiap mol karbon monoksida. Salah satu cara mengatasi kelebihan hidrogen ini adalah dengan menginjeksikan karbon dioksida ke dalam reaktor sintesis metanol, dimana ia akan bereaksi membentuk metanol sesuai dengan reaksi kimia berikut:
CO2 + 3 H2 → CH3OH + H2O

Walaupun gas alam merupakan bahan yang paling ekonomis dan umum digunakan untuk menghasilkan metanol, bahan baku lain juga dapat digunakan. Ketika tidak terdapat gas alam, produk petroleum ringan juga dapat digunakan. Di Afrika Selatan, sebuah perusahaan (Sasol) menghasilkan metanol dengan menggunakan gas sintesis dari batu bara.

        b. Etanol
Etanol pada umumnya disebut alkohol padi-padian atau alkohol minuman karena dapat dihasilkan dari fermentasi  tepung atau padi-padian dan buah, misal anggur. Perhatikan contoh pembuatan etanol dari jagung berikut ini. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengubah jagung menjadi tepung. Selanjutnya tepung jagung dicampur enzim alpha-amylase. Adonan dipanaskan pada suhu di atas 100 °C untuk mengurangi bakteri pembusuk. Adonan didinginkan dan ditambahkan enzin gluco-amylase untuk mengubah adonan menjadi dektrosa. Kemudian dekstrosa diberi ragi untuk proses perubahan menjadi etanol dan karbon dioksida.

Etanol dapat diproduksi secara petrokimia melalui hidrasi etilena ataupun secara biologis melalaui fermentasi gula dengan ragi

Hidrasi etilena

Etanol yang digunakan untuk kebutuhan industri sering kali dibuat dari senyawa petrokimia, utamanya adalah melalui hidrasi etilena:


C2H4(g) + H2O(g) → CH3CH2OH(l).
Katalisa yang digunakan umumnya adalah asam fosfat. Katalis ini digunakan pertama kali untuk produksi skala besar etanol oleh Shell Oil Company pada tahun 1947. Reaksi ini dijalankan dengan tekanan uap berlebih pada suhu 300 °C.

Proses lama yang pernah digunakan pada tahun 1930 oleh Union Carbide adalah dengan menghidrasi etilena secara tidak langsung dengan mereaksikannya dengan asam sulfat pekat untuk mendapatkan etil sulfat. Etil sulfat kemudian dihidrolisis dan menghasilkan etanol:
CH3CH2SO4H + H2O → CH3CH2OH + H2SO4


Fermentasi

Etanol untuk kegunaan konsumsi manusia (seperti minuman beralkohol) dan kegunaan bahan bakar diproduksi dengan cara fermentasi. Spesiesragi tertentu (misalnya Saccharomyces cerevisiae) mencerna gula dan menghasilkan etanol dan karbon dioksida:
C6H12O6 → 2 CH3CH2OH + 2 CO2.

Proses membiakkan ragi untuk mendapatkan alkohol disebut sebagai fermentasi. Konsentrasi etanol yang tinggi akan beracun bagi ragi. Pada jenis ragi yang paling toleran terhadap etanol, ragi tersebut hanya dapat bertahan pada lingkungan 15% etanol berdasarkan volume.

Untuk menghasilkan etanol dari bahan-bahan pati, misalnya serealia, pati tersebut haruslah diubah terlebih dahulu menjadi gula. Dalam pembuatan bir, ini dapat dilakukan dengan merendam biji gandum dalam air dan membiarkannya berkecambah. Biji gandum yang beru berkecambah tersebut akan menghasilkan enzim amilase. Biji kecambah gandum ditumbuk, dan amilase yang ada akan mengubah pati menjadi gula.
Untuk etanol bahan bakar, hidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan dengan lebih cepat menggunakan asam sulfat encer, menambahkan fungi penghasil amilase, atapun kombinasi dua cara tersebut.


Eter :
Eter yang paling penting secara komersial ialah etoksi dietil eter dan metil tersier butil eter. 

a.       Dietil eter

 Dietil eter dibuat dari etanol dan asam sulfat, dengan reaksi seperti berikut.

Sintesis Williamson
Pembuatan dengan sintesis ini melalui dua langkah yaitu sebagai berikut. Langkah pertama yang dilakukan adalah alkohol dikonversi menjadi alkoksidanya melalui pengolahan dengan logam reaktif (natrium atau kalium). Langkah selanjutnya adalah mereaksikan alkoksida dengan alkil halida.

Sebagian besar dietil eter diproduksi sebagai produk sampingannya fase-uap hidrasinya etilena untuk menghasilkan etanol. Proses ini menggunakan dukungan solid katalis asam fosfat dan bisa disesuaikan untuk menghasilkan eter lebih banyak lagi. Fase-uap dehidrasinya etanol pada sejumlah katalis alumina bisa menghasilkan dietil eter sampai 95%.

Dietil eter bisa dipersiapkan di dalam labolatorium dan pada sebuah skala industri oleh sintesis eter asam. Etanol dicampur dengan asam yang kuat, biasanya asam sulfat, H2SO4. Disosiasi asam menghasilkan ion hidrogen, H+. Sebuah ion hidrogen memprotonasi atom oksigen elektronegatifnya etanol, memberikan muatan positif ke molekul etanol:
CH3CH2OH + H+ → CH3CH2OH2+

Sebuah atom oksigen nukleofilnya etanol tak terprotonasi mengsubsitusi molekul air (elektrofil), menghasilkan air, sebuah ion hidrogen dan dietil eter.
CH3CH2OH2+ + CH3CH2OH → H2O + H+ + CH3CH2OCH2CH3

Reaksi ini harus berlangsung pada suhu yang lebih rendah dari 150 °C agar tidak menghasilkan sebuah produk eliminasi (etilena). Pada temperatur yang lebih tinggi, etanol akan terdehidrasi untuk membentuk etilena. Reaki menghasilkan dietil eter adalah kebalikannya, sehingga pada akhir reaksi akan tercapai kesetimbangan antara reaktan dengan produk. Untuk menghasilkan eter yang bagus maka eter harus disuling dari campuran reaksi sebelum eter kembali menjadi etanol, dengan memanfaatkan prinsip Le Chatelier .

b.      Metil tersier butil eter

MTBE is manufactured via the chemical reaction of methanol and isobutylene. Methanol is derived from natural gas, and isobutylene is derived from butane obtained from crude oil or natural gas, thus MTBE is a fossil fuel. In the United States, it was produced in very large quantities (more than 200,000 barrels per day in 1999) during its use as a fuel additive. Due to widespread releases of MTBE-containing gasoline from underground storage tanks all over the US, various jurisdictions banned the use of MTBE and production was reduced. MTBE contamination in drinking water aquifers is a serious concern in many states (the most famous cases are in New York City, Lake Tahoe and Santa Monica, California). Most American gasoline retailers have ceased using MTBE as an oxygenate and US production has declined. Similarly, lack of growth or even decline of MTBE production has been seen in Western Europe. This is due to the alternative ethanol-derived ether ETBE being given more favorable tax treatment. In other parts of the world, which account for about a half of 2004 production, the use of MTBE will continue and even grow.

Aldehid :

Aldehida dibuat dengan menggunakan oksidator O2 dari udara dengan katalis Cu dan Ag. Adapun di laboratorium aldehida dapat dibuat dari reaksi oksidasi alkohol primer dengan suatu oksidator, dan aldehid yang terbentuk harus segera disuling karena aldehida akan bereaksi lebih lanjut membentuk asam karboksilat.
          
        a. Formaldehida
Secara industri, formaldehida dibuat dari oksidasi katalitik metanol. Katalis yang paling sering dipakai adalah logam perak atau campuran oksida besi dan molibdenum serta vanadium. Dalam sistem oksida besi yang lebih sering dipakai (proses Formox), reaksi metanol dan oksigen terjadi pada 250 °C dan menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia
2 CH3OH + O2 → 2 H2CO + 2 H2O.

Katalis yang menggunakan perak biasanya dijalankan dalam temperatur yang lebih tinggi, kira-kira 650 °C. dalam keadaan ini, akan ada dua reaksi kimia sekaligus yang menghasilkan formaldehida: satu seperti yang di atas, sedangkan satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi
CH3OH → H2CO + H2.

Bila formaldehida ini dioksidasi kembali, akan menghasilkan asam format yang sering ada dalam larutan formaldehida dalam kadar ppm.
Di dalam skala yang lebih kecil, formalin bisa juga dihasilkan dari konversi etanol, yang secara komersial tidak menguntungkan.

a.       Asetaldehid
In 2003, global production was about 106 tons/year. The main production method is the oxidation of ethylene via the Wacker process:
2 CH2=CH2 + O2 → 2 CH3CHO

Alternatively, hydration of acetylene, catalyzed by mercury salts gives ethenol, which tautomerizes to acetaldehyde. This industrial route was dominant prior to the Wacker process[5] It is also prepared at smaller levels by both the dehydrogenation and the oxidation of ethanol.

Keton :

Keton dalam industri dibuat dengan oksidator O2 dari udara dengan katalis Cu dan Ag.

a.       Aseton
Dibuat secara langsung maupun tidak langsung dari propena. Secara umum, melalui proses kumena, benzena dialkilasi dengan propena dan produk proses kumena(isopropilbenzena) dioksidasi untuk menghasilkan fenol dan Aseton:
C6H5CH(CH3)2 + O2 → C6H5OH + OC(CH3)2

Konversi di atas terjadi melalui zat antara kumena hidroperoksida, C6H5C(OOH)(CH3)2.
Aseton juga diproduksi melalui propena yang dioksidasi langsung dengan menggunakan katalis Pd(II)/Cu(II), mirip seperti 'proses wacker'.

Dahulu, aseton diproduksi dari distilasi kering senyawa asetat, misalnya kalsium asetat. Selama perang dunia I, sebuah proses produksi aseton dari fermentasi bakteri dikembangkan oleh Chaim Weizmann dalam rangka membantu Britania dalam usaha perang. Proses ini kemudian ditinggalkan karena rendahnya aseton butanol yang dihasilkan.

b.      Asetofenon
Acetophenone can be obtained by a variety of methods. In industry, acetophenone is recovered as a by-product of the oxidation of ethylbenzene, which mainly gives ethylbenzene hydroperoxide for use in the production of propylene oxide.

Asam Karboksilat :

Pembuatan asam karboksilat yang paling sederhana adalah pembuatan asam metanoat dan asam etanoat. Secara industri asam metanoat dibuat dengan mereaksikan CO dan NaOH.

Pembuatan asam etanoat secara industri, dapat dilakukan dengan reaksi oksidasi etanol dari buah anggur atau sari buah lainnya dengan katalis enzim. Adapun pembuatan asam etanoat di laboratorium dapat dilakukan melalui reaksi oksidasi etanol dengan oksidator K2Cr2O7 atau KMnO4.

           a. Asam asetat 

Diproduksi secara sintetis maupun secara alami melalui fermentasi bakteri. Sekarang hanya 10% dari produksi asam asetat dihasilkan melalui jalur alami, namun kebanyakan hukum yang mengatur bahwa asam asetat yang terdapat dalam cuka haruslah berasal dari proses biologis. Dari asam asetat yang diproduksi oleh industri kimia, 75% diantaranya diproduksi melalui karbonilasi metanol. Sisanya dihasilkan melalui metode-metode alternatif.
 
Produksi total asam asetat dunia diperkirakan 5 Mt/a (juta ton per tahun), setengahnya diproduksi di Amerika Serikat. Eropa memproduksi sekitar 1 Mt/a dan terus menurun, sedangkan Jepang memproduksi sekitar 0.7 Mt/a. 1.51 Mt/a dihasilkan melalui daur ulang, sehingga total pasar asam asetat mencapai 6.51 Mt/a. Perusahan produser asam asetat terbesar adalah Celanese dan BP Chemicals. Produsen lainnya adalah Millenium Chemicals, Sterling Chemicals, Samsung, Eastman, dan Svensk Etanolkemi.

Karbonilasi metanol

Kebanyakan asam asetat murni dihasilkan melalui karbonilasi. Dalam reaksi ini, metanol dan karbon monoksida bereaksi menghasilkan asam asetat
CH3OH + CO → CH3COOH

Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat antara, dimana reaksi itu sendiri terjadi dalam tiga tahap dengan katalis logam kompleks pada tahap kedua.

(1) CH3OH + HICH3I + H2O
(2) CH3I + CO → CH3COI
(3) CH3COI + H2O → CH3COOH + HI

Jika kondisi reaksi diatas diatur sedemikian rupa, proses tersebut juga dapat menghasilkan anhidrida asetat sebagai hasil tambahan. Karbonilasi metanol sejak lama merupakan metode paling menjanjikan dalam produksi asam asetat karena baik metanol maupun karbon monoksida merupakan bahan mentah komoditi. Henry Dreyfus mengembangkan cikal bakal pabrik karbonilasi metanol pada perusahaan Celanese di tahun 1925. Namun, kurangnya bahan-bahan praktis yang dapat diisi bahan-bahan korosif dari reaksi ini pada tekanan yang dibutuhkan yaitu 200 atm menyebabkan metoda ini ditinggalkan untuk tujuan komersial. Baru pada 1963 pabrik komersial pertama yang menggunakan karbonilasi metanol didirikan oleh perusahaan kimia Jerman, BASF dengan katalis kobalt (Co). Pada 1968, ditemukan katalis kompleks Rhodium, cis−[Rh(CO)2I2] yang dapat beroperasi dengan optimal pada tekanan rendah tanpa produk sampingan. Pabrik pertama yang menggunakan katalis tersebut adalah perusahan kimia AS Monsanto pada 1970, dan metode karbonilasi metanol berkatalis Rhodium dinamakan proses Monsanto dan menjadi metode produksi asam asetat paling dominan. Pada akhir 1990'an, perusahan petrokimia British Petroleum mengkomersialisasi katalis Cativa ([Ir(CO)2I2]) yang didukung oleh ruthenium. Proses berbasis iridium ini lebih efisien dan lebih "hijau" dari metode sebelumnya, sehingga menggantikan proses Monsanto.

Oksidasi asetaldehida

Sebelum komersialisasi proses Monsanto, kebanyakan asam asetat diproduksi melalui oksidasi asetaldehida. Sekarang oksidasi asetaldehida merupakan metoda produksi asam asetat kedua terpenting, sekalipun tidak kompetitif bila dibandingkan dengan metode karbonilasi metanol. Asetaldehida yang digunakan dihasilkan melalui oksidasi butana atau nafta ringan, atau hidrasi dari etilena. Saat butena atau nafta ringan dipanaskan bersama udara disertai dengan beberapa ion logam, termasuk ion mangan, kobalt dan kromium, terbentuk peroksida yang selanjutnya terurai menjadi asam asetat sesuai dengan persamaan reaksi dibawah ini.
2 C4H10 + 5 O2 → 4 CH3COOH + 2 H2O

Umumnya reaksi ini dijalankan pada temperatur dan tekanan sedemikian rupa sehingga tercapai suhu setinggi mungkin namut butana masih berwujud cair. Kondisi reaksi pada umumnya sekitar 150 °C and 55 atm. Produk sampingan seperti butanon, etil asetat, asam format dan asam propionat juga mungkin terbentuk. Produk sampingan ini juga bernilai komersial dan jika diinginkan kondisi reaksi dapat diubah untuk menghasilkan lebih banyak produk samping, namun pemisahannya dari asam asetat menjadi kendala karena membutuhkan biaya lebih banyak lagi.

Melalui kondisi dan katalis yang sama asetaldehida dapat dioksidasi oleh oksigen udara menghasilkan asam asetat.
2 CH3CHO + O2 → 2 CH3COOH

Dengan menggunakan katalis modern, reaksi ini dapat memiliki rasio hasil (yield) lebih besar dari 95%. Produk samping utamanya adalah etil asetat, asam format dan formaldehida, semuanya memiliki titik didih yang lebih rendah daripada asam asetat sehingga dapat dipisahkan dengan mudah melalui distilasi
        
         b. Asam format
In 1988, the worldwide capacity for producing this compound was 330,000 tonnes/annum. It is commercially available in solutions of various concentrations between 85 and 99 w/w %.

From methyl formate and formamide

When methanol and carbon monoxide are combined in the presence of a strong base, the formic acid derivative methyl formate results, according to the chemical equation:
CH3OH + CO → HCO2CH3

In industry, this reaction is performed in the liquid phase at elevated pressure. Typical reaction conditions are 80 °C and 40 atm. The most widely-used base is sodium methoxide. Hydrolysis of the methyl formate produces formic acid:
HCO2CH3 + H2O → HCO2H + CH3OH

Efficient hydrolysis of methyl formate requires a large excess of water. Some routes proceed indirectly by first treating the methyl formate with ammonia to give formamide, which is then hydrolyzed with sulfuric acid:
HCO2CH3 + NH3 → HC(O)NH2 + CH3OH
2 HC(O)NH2 + 2 H2O + H2SO4 → 2HCO2H + (NH4)2SO4

This approach suffers from the need to dispose of the ammonium sulfate byproduct. This problem has led some manufacturers to develop energy efficient means for separating formic acid from the large excess amount of water used in direct hydrolysis. In one of these processes (used by BASF) the formic acid is removed from the water via liquid-liquid extraction with an organic base.

By-product of acetic acid production

A significant amount of formic acid is produced as a byproduct in the manufacture of other chemicals. At one time, acetic acid was produced on a large scale by oxidation of alkanes, via a process that cogenerates significant formic acid. This oxidative route to acetic acid is declining in importance, so that the aforementioned dedicated routes to formic acid have become more important.

Hydrogenation of carbon dioxide

The catalytic hydrogenation of CO2 has long been studied. This reaction can be conducted homogeneously.

Laboratory methods

In the laboratory, formic acid can be obtained by heating oxalic acid in anhydrous glycerol and extraction by steam distillation. Another preparation (which must be performed under a fume hood) is the acid hydrolysis of ethyl isonitrile (C2H5NC) using HCl solution.
C2H5NC + 2 H2O → C2H5NH2 + HCO2H
The isonitrile can be obtained by reacting ethyl amine with chloroform (note that the fume hood is required because of the overpoweringly objectionable odor of the isonitrile).

Ester :
Pembuatan ester disebut reaksi esterifikasi. Reaksi ini memerlukan bantuan katalis H2SO4 pekat.

Etil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam asetat dan etanol dan hasilnya beraroma jeruk (perisa sintesis), biasanya dalam sintesis disertai katalis asam seperti asam sulfat.
CH3CH2OH + CH3COOH → CH3COOCH2CH3 + H2O

Reaksi diatas merupakan reaksi reversibel dan menghasilkan suatu kesetimbangan kimia. Karena itu, rasio hasil dari reaksi diatas menjadi rendah jika air yang terbentuk tidak dipisahkan. Di laboratorium, produk etil asetat yang terbentuk dapat dipisahkan dari air dengan menggunakan aparatus Dean-Stark

KEGUNAAN :

Metanol :

Metanol digunakan secara terbatas dalam mesin pembakaran dalam, dikarenakan metanol tidak mudah terbakar dibandingkan dengan bensin. Metanol campuran merupakan bahan bakar dalam model radio kontrol. Metanol juga digunakan sebagai solven dan sebagai antifreeze, dan fluida pencuci kaca depan mobil.
Penggunaan metanol terbanyak adalah sebagai bahan pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40% metanol diubah menjadi formaldehyde, dan dari sana menjadi berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat, peledak, dan tekstil.
Dalam beberapa pabrik pengolahan air limbah, sejumlah kecil metanol digunakan ke air limbah sebagai bahan makanan karbon untuk denitrifikasi bakteri, yang mengubah nitrat menjadi nitrogen.

Etanol :

·       Pelarut
·       Campuran minuman (intoxicant)
·       Sintesis bahan kimia lain

Dietil eter :

Merupakan sebuah pelarut laboratorium yang umum dan memiliki kelarutan terbatas di dalam air, sehingga sering digunakan untuk ekstrasi cair-cair. Karena kurang rapat bila dibandingkan dengan air, lapisa eter biasanya berada paling atas. Sebagai salah satu pelarut umum untuk reaksi Grignard, dan untuk sebagian besar reaksi yang lain melibatkan berbagai reagen organologam, Dietil eter sangat penting sebagai salah satu pelarut dalam produksi plastik selulosa sebagai selulosa asetat. Dietil eter memiliki angka setana yang tinggi, 85 sampai 96, digunakan sebagai salah satu cairan awal untuk mesin diesel dan bensin karena keatsiriannya yang tinggi dan temperatur autosulutan.

Penggunaan anestetik

Dokter Crawford Williamson Long, M.D., dari Amerika adalah ahli bedah yang pertama kali menggunakan dietil eter sebagai sebuah anestetik umum, pada 30 Maret 1842. William Thomas Green Morton memperagakan penggunaan eter sebagai anestesi penghirupan yang pertama kalinya di hadapan publik pada 16 Oktober, 1846 di Ether Dome yang berada di Boston, Massachusets. Terkadang eter digunakan sebagai pengganti kloroform sebab eter memiliki indeks terapeutik yang lebih tinggi, perbedaan yang lebih besar antara dosis yang direkomendasikan dengan dosis berlebih yang beracun. Eter masih menjadi anestesi yang disukai di sejumlah negara berkembang karena indeks terapeutiknya yang tinggi (~1.5-2.2) dan harganya yang murah. Karena diasosiasikan dengan Boston, penggunaan eter mendapat julukan "Yankee Dodge."

 Penggunaan yang berkaitan dengan rekreasi

Karena berefek anestetik, eter juga digunakan sebagai sebuah obat rekreasi, kendati tidak populer. Dietil eter tidak seberacun zat pelarut lainnya yang digunakan sebagai obat rekreasi. Eter cenderung sulit dikonsumsi sendirian, sehingga sering dicampur dengan etanol untuk penggunaan rekreasi. Eter juga digunakan sebagai sebuah obat inhalan (hirupan).
Karena tidak dapat dicampur dengan air dan adanya fakta bahwa senyawa organik tak berkutub sangat mudah larut di dalamnya, eter digunakan pula dalam produksi kokain freebase, dan terdaftar sebagai sebuah Table II precursor dalam Konvensi PBB Menentang Peredaran Ilegal Narkotika dan Zat Psikotropika.

Metil tersier butil eter :

MTBE is almost exclusively used as a fuel component in fuel for gasoline engines. It is one of a group of chemicals commonly known as oxygenates because they raise the oxygen content of gasoline.

As anti-knocking agent

In the US it has been used in gasoline at low levels since 1979 to replace tetra-ethyl lead and to increase its octane rating helping prevent engine knocking. Oxygen helps gasoline burn more completely, reducing tailpipe emissions from pre-1984 motor vehicles; dilutes or displaces gasoline components such as aromatics (e.g., benzene) and sulfur; and optimizes the oxidation during combustion. Most refiners chose MTBE over other oxygenates primarily for its blending characteristics and low cost.
Since 1992, MTBE has been used at higher concentrations in some gasoline to fulfill the oxygenate requirements set by the United States Congress in Clean Air Act amendments; however, since 1999, in California and other locations MTBE has begun to be phased out because of groundwater contamination. Due to its higher solubility in water MTBE moves more quickly than other fuel components. The Energy Policy Act of 2005 reduces the federal requirement for oxygen content in reformulated gasoline.
In 1995 high levels of MTBE were unexpectedly discovered in the water wells of Santa Monica, California, and the U.S. Geological Survey reported detections.] Subsequent U.S. findings indicate tens of thousands of contaminated sites in water wells distributed across the country. As per toxicity alone, MTBE is not classified as a hazard for the environment, but it imparts an unpleasant taste to water already at very low concentrations. The maximum contaminant level of MTBE in drinking water has not yet been established by the United States Environmental Protection Agency (EPA). The leakage problem is partially attributed to the lack of effective regulations for underground storage tanks, but spillage from overfilling is also a contributor.

As an ingredient in unleaded gasoline, MTBE is the most water soluble component. When dissolved in groundwater, MTBE will lead the contaminant plume with the remaining components such as benzene and toluene following. Thus the discovery of MTBE in public groundwater wells indicates that the contaminant source was a gasoline release. Its criticism and subsequent decreased usage, some claim, is more a product of its easy detectability (taste) in extremely low concentrations (ppb) than its toxicity. The MTBE concentrations used in the EU (usually 1.0–1.6%) and allowed (maximum 5%) in Europe are lower than in California.

Alternatives

Other compounds are available as oxygenate additives for gasoline including ethanol and related ethers, e.g. tert-amyl methyl ether (TAME). Reasons for using MTBE include economic considerations, as some of the production is obtained by adding methanol to isobutylene produced as a by-product of other processes. However, most MTBE facilities have to manufacture the methanol and isobutylene required to produce MTBE.
Ethanol has been advertised as a safe alternative by the agricultural interest groups in the USA and Europe. Its lack of toxicity is not different from MTBE, but as a polar solvent, it drives off nonpolar hydrocarbons from the gasoline, a problem that MTBE does not cause. Volatile hydrocarbons in gasoline vapors are known carcinogens and produce photochemical smog. Ethanol's higher cost requires government intervention in the form of subsidies or mandated usage to be competitive. In 2003, California was the first U.S. state to start replacing MTBE with ethanol. Several other states started switching soon thereafter.
Advocates of both sides of the debate in the United States sometimes claim that gasoline manufacturers have been forced to add MTBE to gasoline by law. It might be more correct to say they have been induced to do so, although any oxygenate would fulfill the law.
An alternative to straight ethanol is the related ether ETBE, which is manufactured from ethanol and isobutene. Its performance as an additive is similar to MTBE, but due to the higher price of ethanol compared to methanol, it is more expensive.
Higher quality gasoline is also an alternative, i.e., so that additives such as MTBE are unnecessary. Iso-octane itself is used. MTBE plants can be retrofitted to produce iso-octane from isobutylene.

As a solvent

As a solvent, MTBE possesses one distinct advantage over most ethers - it has a much lower tendency to form explosive organic peroxides. Opened bottles of diethyl ether or THF can build up dangerous levels of these peroxides in months, whereas samples of MTBE are usually safe for years (but they should still be tested periodically). For this reason (as well as its higher boiling point), it is used as a solvent extensively in industry, where safety concerns and regulations make working with diethyl ether, THF, or other ethers much more difficult and expensive. However, despite the popularity of MTBE in industrial settings, it is rarely used as a solvent in academia. Research volumes are much smaller, leading to lower risks from other ethers. The use of MTBE as a solvent is thus rarely reported in the scientific literature, with some exceptions. One use that should be avoided, is with bromine:
A spontaneous and strongly exothermic interaction occurs between bromine and tert-butyl methyl ether at a molar ratio of approximately 1:1 resulting in uncontrolled and violent pressurisation due to the rapid vaporisation of the solvent. The calculated heat of reaction was in excess of -350 kJ/litre and the associated adiabatic temperature rise was greater than 150°C

As a chemical reagent

Being an ether, MTBE is a Lewis base. However, unlike other ethers such as diethyl ether or THF, it does not coordinate well enough with magnesium to be used for making Grignard reagents. The tert-butyl group is easily cleaved off under strongly acidic conditions (forming a moderately stable carbocation), particularly if heated (isobutylene is lost), something which can limit the use of MTBE as a solvent.

Formaldehida

Dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai bahan pengawet. Sebagai disinfektan, Formaldehida dikenal juga dengan nama formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih; lantai, kapal, gudang dan pakaian.
Formaldehida juga dipakai sebagai pengawet dalam vaksinasi. Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dari formaldehida sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuk sementara mengawetkan bangkai.
Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksi polimer dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamina, formaldehida menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya yang dipakai untuk kayulapis/tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busa-nya sebagai insulasi. Lebih dari 50% produksi formaldehida dihabiskan untuk produksi resin formaldehida.
Untuk mensintesis bahan-bahan kimia, formaldehida dipakai untuk produksi alkohol polifungsional seperti pentaeritritol, yang dipakai untuk membuat cat bahan peledak. Turunan formaldehida yang lain adalah metilena difenil diisosianat, komponen penting dalam cat dan busa poliuretana, serta heksametilena tetramina, yang dipakai dalam resin fenol-formaldehida untuk membuat RDX (bahan peledak).
Sebagai formalin, larutan senyawa kimia ini sering digunakan sebagai insektisida serta bahan baku pabrik-pabrik resin plastik dan bahan peledak.

Asetaldehida : 

Traditionally, acetaldehyde was mainly used as a precursor to acetic acid. This application has declined because acetic acid is made more efficiently from methanol by the Monsanto and Cativa processes. It is still heavily used. In terms of condensation reactions, acetaldehyde is an important precursor to pyridine derivatives, pentaerythritol, and crotonaldehyde. Urea and acetaldehyde combine to give a useful resin. Acetic anhydride reacts with acetaldehyde to give ethylidene diacetate, a precursor to vinyl acetate, which is used to produce polyvinyl acetate.

Aseton :

Cairan pembersih

Aseton sering kali merupakan komponen utama (atau tunggal) dari cairan pelepas cat kuku. Etil asetat, pelarut organik lainnya, kadang-kadang juga digunakan. Aseton juga digunakan sebagai pelepas lem super. Ia juga dapat digunakan untuk mengencerkan dan membersihkan resin kaca serat dan epoksi. Ia dapat melarutkan berbagai macam plastik dan serat sintetis.
Aseton sangat baik digunakan untuk mengencerkan resin kaca serat, membersihkan peralatan kaca gelas, dan melarutkan resin epoksi dan lem super sebelum mengeras.
Selain itu, aseton sangatlah efektif ketika digunakan sebagai cairan pembersih dalam mengatasi tinta permanen.

Pelarut

Aseton dapat melarutkan berbagai macam plastik, melipuri botol Nalgene yang dibuat dari polistirena, polikarbonat, dan beberapa jenis poliprolilena.
 
Dalam laboratorium, aseton digunakan sebagai pelarut aportik polar dalam kebanyakan reaksi organik, seperti reaksi SN2. Penggunaan pelarut aseton juga berperan penting pada oksidasi Jones. Oleh karena polaritas aseton yang menengah, ia melarutkan berbagai macam senyawa. Sehingga ia umumnya ditampung dalam botol cuci dan digunakan sebagai untuk membilas peralatan gelas laboratorium.
Walaupun mudah terbakar, aseton digunakan secara ekstensif pada proses penyimpanan dan transpor asetilena dalam industri pertambangan. Bejana yang mengandung bahan berpori pertama-tama diisi dengan aseton, kemudian asetilena, yang akan larut dalam aseton. Satu liter aseton dapat melarutkan sekitas 250 liter asetilena.

Stok umpan

Dalam bidang industri, aseton direaksi dengan fenol untuk memproduksi bisfenol A. Bisfenol A adalah komponen penting dalam berbagai polimer, misalnya polikarbonat, poliuretana, dan resin epoksi. Aseton juga digunakan dalam manufaktur kordit.

Asetofenon :

Precursor to resins

Commercially significant resins are produced from treatment of acetophenone with formaldehyde and base. The resulting polymers are conventionally described with the formula [(C6H5C(O)CH]x(CH2)x}n, resulting from aldol condensation. These materials are components of coatings and inks. Modified acetophenone-formaldehyde resins are produced by the hydrogenation of the aforementioned ketone-containing resins. The resulting polyol can be further crosslinked with diisocyanates. These modified resins are again found in coatings, inks, as well as adhesives.

Precursor to styrene

In instructional laboratories, acetophenone is converted to styrene in a two step process that illustrates the reduction of carbonyls and the dehydration of alcohols:
4 C6H5C(O)CH3 + NaBH4 + 4 H2O → 4 C6H5CH(OH)CH3 + NaOH + B(OH)3
A similar process is used industrially but the hydrogenation step to 1-phenylethanol is done over a copper catalyst.
C6H5CH(OH)CH3 → C6H5CH=CH2 + H2O

Use in pharmaceutical and related areas

Acetophenone is a raw material for the synthesis of some pharmaceuticals and is also listed as an approved excipient by the U.S. FDA.] In a 1994 report released by five top cigarette companies in the U.S., acetophenone was listed as one of the 599 additives to cigarettes.

Niche uses

Acetophenone is used to create fragrances that resemble almond, cherry, honeysuckle, jasmine, and strawberry. It is used in chewing gum.[citation needed] Being prochiral, acetophenone is also a popular test substrate for asymmetric transfer hydrogenation experiments. Acetophenone is also commonly used as a flavouring in many cherry flavoured sweets and drinks, as it costs far less and proves as satisfying to consumers this way.

Asam Karboksilat :

Asam asetat digunakan sebagai pereaksi kimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia. Sebagian besar (40-45%) dari asam asetat dunia digunakan sebagai bahan untuk memproduksi monomer vinil asetat (vinyl acetate monomer, VAM). Selain itu asam asetat juga digunakan dalam produksi anhidrida asetat dan juga ester. Penggunaan asam asetat lainnya, termasuk penggunaan dalam cuka relatif kecil.

Asam Format :

A major use of formic acid is as a preservative and antibacterial agent in livestock feed. In Europe, formic acid is applied on fresh hay or other silage to promote the fermentation of lactic acid and to suppress the formation of butyric acid; it also allows fermentation to occur quickly, and at a lower temperature, reducing the loss of nutritional value. Formic acid arrests certain decay processes and causes the feed to retain its nutritive value longer, and so it is widely used to preserve winter feed for cattle.[citation needed] In the poultry industry, it is sometimes added to feed to kill E. coli bacteria. Formic acid is also used in the production of textiles and leather because of its acidic nature. It is also used as a coagulant in the production of rubber.
Formic acid is also used in place of mineral acids for various cleaning products, such as limescale remover and toilet bowl cleaner. Some formate esters are artificial flavorings or perfumes.
Beekeepers use formic acid as a miticide against the Tracheal (Acarapis woodi) mite and the Varroa mite.
The use of formic acid in fuel cells is also under investigation.

Laboratory use

Formic acid is a source for a formyl group for example in the formylation of methylaniline to N-methylformanilide in toluene. In synthetic organic chemistry, formic acid is often used as a source of hydride ion. The Eschweiler-Clarke reaction and the Leuckart-Wallach reaction are examples of this application. It or more commonly its azeotrope with triethylamine, is also used as a source of hydrogen in transfer hydrogenation.
Like acetic acid and trifluoroacetic acid, formic acid is commonly used as a volatile pH modifier in HPLC and capillary electrophoresis.
As mentioned below, formic acid may serve as a convenient source of carbon monoxide by being readily decomposed by sulfuric acid.

Ester : 

Ester banyak digunakan dalam kehiduapn sehari-hari antara lain :
1. Amil asetat banyak digunakan sebagai pelarut untuk damar dan lak
2. Esterifikasi etilen glikol dengan asam bensen 1.4 dikarboksilat menghasilkan poliester
    yang digunakan sebagai bahan pembuat kain.
3. Karena baunya yang sedap maka ester banyak digunakan sebagai esen pada makanan
    antara lain :

Tabel contoh aroma senyawa ester

Rumus Struktur
Jenis Ester
Aroma
CH3COOC5H11
C4H9COOC5H11
C3H1COOC5H11
C3H7COOC4H9
C3H7COOC3H7
Amil Asetat
Amil Valerat
Amil Butirat
Butil Butirat
Propil Butirat
Buah Pisang
Buah Apel
Buah Jambu
Buah Nanas
Buah Mangga


SUMBER ARTIKEL



Mohon maaf jika bahasa yang disajikan bilingual, karena saya hanya merangkum (tugas sekolah)
hehehe..
semoga bermanfaat.